Bagaimana karakteristik siswa di kelas rendah??
Kelas
rendah terdiri dari kelas satu, dua, dan tiga, sedangkan kelas-kelas
tinggi terdiri dari kelas empat, lima, dan enam. Usia siswa pada kelompok kelas
rendah, yaitu 6 atau 7 sampai 8 atau 9 tahun. Siswa
yang berada pada kelompok ini termasuk dalam rentangan anak usia dini. Masa usia
dini ini merupakan masa yang pendek tetapi sangat penting bagi kehidupan seseorang. Oleh karena itu,
pada masa ini seluruh potensi yang dimiliki anak perlu didorong sehingga akan
berkembang secara optimal.
Beberapa
keterampilan akan dimiliki oleh anak yang sudah mencapai tugas-tugas
perkembangan pada masa kanak-kanak akhir dengan rentang usia 6-13 tahun.
Keterampilan yang dicapai diantaranya, yaitu social-help skills dan
play skill. Social-help skills berguna untuk membantu orang lain
di rumah, di sekolah, dan di tempat bermain seperti membersihkan halaman dan
merapikan meja kursi. Keterampilan ini akan menambah perasaan harga diri dan
menjadikannya sebagai anak yang berguna, sehingga anak suka bekerja sama.
Sementara itu, play skill terkait dengan kemampuan motorik seperti
melempar, menangkap, berlari, keseimbangan. Anak yang terampil dapat membuat penyesuaian-penyesuaian
yang lebih baik di sekolah dan di masyarakat.
Setelah mengetahui karateristik siswa di kelas rendah, tentunya kita dapat menganalisis karakteristik pembelajaran di kelas rendah. Bagaimana karakteristik pembelajaran di kelas rendah?
Pembelajaran
di kelas rendah dilaksanakan berdasarkan rencana pelajaran yang telah
dikembangkan oleh guru. Proses pembelajaran harus dirancang guru sehingga
kemampuan siswa, bahan ajar, proses belajar, dan sistem penilaian sesuai dengan
tahapan perkembangan siswa. Dalam hal ini, guru memegang peranan penting dalam
menciptakan stimulus respon agar siswa menyadari kejadian di sekitar
lingkungannya. Siswa kelas rendah masih banyak membutuhkan perhatian karena
konsentrasinya masih kurang, perhatian terhadap kecepatan dan aktivitas belajar
juga masih kurang.
Piaget
menyatakan bahwa setiap anak memiliki cara tersendiri dalam menginterpretasikan
dan beradaptasi dengan lingkungannya (teori perkembangan kognitif). Menurutnya,
setiap anak memiliki struktur kognitif yang disebut schemata, yaitu sistem konsep
yang ada dalam pikiran sebagai hasil pemahaman terhadap objek yang ada dalam
lingkungannya. Pemahaman tentang objek tersebut berlangsung melalui proses
asimilasi (menghubungkan objek dengan konsep yang sudah ada dalam pikiran) dan
akomodasi (proses memanfaatkan konsep-konsep dalam pikiran untuk menafsirkan
objek). Kedua proses tersebut jika berlangsung terus menerus akan membuat
pengetahuan lama dan pengetahuan baru menjadi seimbang. Dengan cara seperti itu
secara bertahap anak dapat membangun pengetahuan melalui interaksi dengan
lingkungannya. Kecenderungan belajar anak usia sekolah dasar memiliki tiga
ciri, yaitu:
a) Konkrit, konkrit
mengandung makna proses belajar beranjak dari hal-hal yang konkrit yakni yang
dapat dilihat, didengar, dibaui, diraba, dan diotak atik, dengan titik
penekanan pada pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar. Pemanfaatan
lingkungan akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih bermakna dan
bernilai, sebab siswa dihadapkan dengan peristiwa dan keadaan yang sebenarnya.
b) Integratif, pada tahap
usia sekolah dasar anak memandang sesuatu yang dipelajari sebagai suatu
keutuhan, mereka belum mampu memilah-milah konsep dari berbagai disiplin ilmu,
hal ini melukiskan cara berpikir anak yang deduktif yakni dari hal umum ke hal
yang lebih khusus.
c) Hierarkis, pada tahapan
usia sekolah dasar, cara anak belajar berkembang secara bertahap mulai dari
hal-hal yang sederhana ke hal-hal yang lebih kompleks. Sehubungan dengan hal
tersebut, maka perlu diperhatikan mengenai urutan logis, keterkaitan antar
materi, dan cakupan keluasan serta kedalaman materi .
Sumber:
Dibia,
I Ketut. 1999. Peningkatan Keterampilan
Berbahasa Indonesia. Singaraja: STKIP Singaraja