Puisi
Sebelumnya aku udah ngepost analisis cerpen "Persahabatan Sunyi". Nah sekarang ini ni contoh analisis puisi karya Taufik Ismail dengan judul "Membaca Tanda-tanda". Selamat membaca ;)
Membaca Tanda-tanda
Karya Taufik Ismail
Ada
sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
dan
meluncur lewat sela-sela jari kita
Ada
sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
tapi
kini kita mulai
merasakannya
Kita
saksikan udara abu-abu warnanya
Kita
saksikan air danau yang semakin surut jadinya
Burung-burung
kecil tak lagi berkicau pagi hari
Hutan
kehilangan ranting
Ranting
kehilangan daun
Daun
kehilangan dahan
Dahan
kehilangan hutan
Kita
saksikan
Gunung
membawa abu
Abu
membawa batu
Batu
membawa lindu
Lindu
membawa longsor
Longsor
membawa air
Air
membawa banjir
Banjir
air mata
Kita
telah saksikan seribu tanda-tanda
Biskah
kita membaca tanda-tanda?
Allah
Kami
telah membaca gempa
Kami
telah disapu banjir
Kami
telah dihalau api dan hama
Kami
telah dihujani abu dan batu
Allah
Ampuni
dosa-dosa kami
Beri
kami kearifan membaca tanda-tanda
Karena
ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
akan
meluncur lewat sela-sela jari
Karena
ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
tapi
kini kami mulai merindukanya
A.
Makna dalam Puisi
Puisi Membaca Tanda-Tanda karya Taufik Ismail ini apa
bila kita baca secara detail, meiliki banyak makna yang terkandung. Dimana
makna dalam puisi tersebut sangat kental terasa terhadap kondisi kehidupan kita
saat ini, yaitu sebagai berikut:
a.
Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari
kita
Makna dalam bait puisi tersebut yaitu kelalaian kita menjaga
alam sekitar, sehingga bencana itupun muncul karena tangan-tangan nakal kita
(manusia).
b. Ada
sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
tapi kini kita mulai merasakannya
Maknanya yaitu bencana itu tak pernah menunjukkan
kedahsyatannya, tapi lama kelamaan bencana itu satu persatu muncul menghinggapi
manusia.
c.
Kita saksikan udara abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil tak lagi berkicau pagi hari
Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan
Kita saksikan zat asam didesak karbon dioksid itu menggilas
paru-paru
Maknanya yaitu pengarang berbagai bencana kini satu persatu
timbul seperti, “….udara abu-abu warnya….”, kata-kata ini dimaksudkan
karena polusi udara yang kian
membutakan Bumi dan mengganggu pernapasan manusia. Air danau maupun sungai
surut dan kering. Sehingga populasi hewan seperti burung-burung yang biasa
berkicau dipagi hari.
· Efek dari polusi udara yang
mengakibatkan “Global Warming”
tersebut yaitu hutan tidak memiliki ranting, ranting tidak memiliki daun, daun
tidak memiliki dahan, dan pada akhirnya kita tidak memiliki hutan. Hanya
gersanglah yang menghiasi bumi.
d.
Kita saksikan
Gunung
membawa abu
Abu
membawa batu
Batu
membawa lindu
Lindu
membawa longsor
Longsor
membawa air
Air
membawa banjir
Banjir air
mata
Kita telah
saksikan seribu tanda-tanda
Biskah
kita membaca tanda-tanda?
Maknanya yaitu alam telah mengamuk, dari gunung berapi,
longsor banjir telah menumpah kan air mata manusia. Tangisan manusia yang tak
terhentikan akibat amukan alam tersebut.
Seribu tanda-tanda keganasan alam itu
telah datang dan menimpa manusia, namun pertanyaan berbarengan kemudian. Apakah
manusia mampu membaca tanda-tanda tersebut? Yang tentunya tanpa kita sadari,
datang dengan tiba-tiba.
e.
Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu
Allah
Ampuni dosa-dosa kami
Beri kami kearifan membaca tanda-tanda
Karena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
akan meluncur lewat sela-sela jari
Karena ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
tapi kini kami mulai merindukanya
Maknanya
yaitu, pada akhirnya hanya Tuhan yaitu Allah SWT yang mampu menentukan
tanda-tanda tersebut. Manusia tentunya harus mampu membaca dengan teliti tanda-tanda
tersebut, dimana manusia lalai dan lupa akan apa yang dititipkan-Nya. Sehingga
Allah menghendaki terjadinya bencana itu, dari bencana gempa, banjir, hama
tanaman. Disamping itu manusia meminta kearifan Tuhan Yang Maha Esa untuk
mengetahui tanda-tanda, agar mereka lebih mengerti apa yang akan terjadi.
“…Allah…Ampuni
dosa-dosa kami…” Pada
akhirnya manusia hanya bisa menyesali dan meratapi dosanya, namun semuanya
terlambat untuk disesali.
“….tapi
kini kami mulai merindukannya” disisi lain, manusia (kita) pun merindukan kedaan alam yang
asri, yang bebas dari polusi atau Global
Warming. Merindukan keadaan alam yang aman dan nyaman.
B. Paraprase Puisi
Puisi
tersebut menceritakan kelalaian kita menjaga alam sekitar, sehingga bencana
itupun muncul karena tangan-tangan nakal kita. Bencana itu tak pernah
menunjukkan kedahsyatannya, tapi lama kelamaan seiring berjalannya waktu bencana
itu satu persatu muncul menghinggapi manusia. Air danau maupun sungai surut dan
kering. Sehingga populasi hewan seperti burung-burung yang biasa berkicau
dipagi hari kini tak terlihat lagi. Efek dari polusi udara yang mengakibatkan “Global Warming” menyebabkan hutan
tidak memiliki ranting, ranting tidak memiliki daun, daun tidak memiliki dahan,
dan pada akhirnya kita tidak memiliki hutan. Hanya gersanglah yang menghiasi
bumi. Alam telah mengamuk, dari gunung berapi, longsor banjir telah menumpahkan
air mata manusia. Seribu tanda-tanda keganasan alam itu telah datang dan
menimpa manusia, namun hal tersebut memunculkan pertanyaan. Apakah manusia
mampu membaca tanda-tanda tersebut? Yang tentunya tanpa kita sadari, datang
dengan tiba-tiba. Melalui puisi diatas, penyair ingin mengajak pembaca untuk
membaca tanda-tanda gejala alam yang terjadi di sekitar kita, agar kita memperhatikan
gejala alam yang semakin lama lepas dari genggaman tangan kita. Ada sesuatu
yang hilang, ada sesuatu yang harus kita raih kembali seperti mulanya. Manusia
tentu akan merindukan suasana yang alami, indah, suasana alam sebelum terjamah
oleh tangan-tangan teknologi manusia. Manusia tentunya harus mampu membaca
dengan teliti tanda-tanda tersebut, dimana manusia lalai dan lupa akan apa yang
dititipkan-Nya. Sehingga Allah menghendaki terjadinya bencana itu, dari bencana
gempa, banjir, hama tanaman. Pada akhirnya manusia hanya bisa menyesali dan
meratapi dosanya, namun semuanya terlambat untuk disesali.
C. Unsur Intrinsik Puisi
1. Tema (sense)
Tema merupakan
hal yang ingin disampaikan oleh pengarang. Tema puisi
ini adalah tentang Alam. Puisi Membaca Tanda-tanda memiliki makna
bahwa Taufik Ismail selaku penciptanya mengajak pembaca untuk dapat membaca
gejala-gejala alam yang terjadi di sekitar kita. Pembaca diajak untuk
peka terhadap perubahan alam yang semakin lama semakin memprihatinkan
keadannya. Alam yang dulunya asri, indah dan nyaman, kini terusik dengan
kerusakan akibat tangan-tangan manusia yang banyak merusak lingkungan. Taufik
dalam puisi ini mencurahkan perasaannya yang merindukan lingkungan yang alami
dan murni. Ia sangat menyesalkan apa yang terjadi saat ini. Sudah banyak
gejala alam yang memperingatkan manusia untuk sadar akan pentingnya menjaga
lingkungan. Namun dengan banyaknya gejala alam ini Taufik masih mempertanyakan
apakah kita (manusia) bisa membaca gejala-gejala perubahan pada alam.
2.
Rasa (feeling)
Perasaan
yang ditekankan pada puisi ini adalah rasa sedih karena manusia sebagai
khalifah di bumi seringkali merusak alam dengan perburuan hewan, penebangan
hutan, dan lain sebagainya yang menyebabkan alam kehilangan keindahannya.
3. Nada (tone)
Nada yang
ditunjukan dalam puisi ini adalah menyindir. Nada menyindir ini muncul karena,
rasa sedih dan kecewa penyair yang menyadari kelalaian manusia mejaga alam
sehingga alam mulai kehilangan keindahannya.
4. Amanat
(intention)
Dalam
puisi ini amanat yang disampaikan oleh penyair adalah bahwa kita sebagai
khalifah di bumi harus mencintai dan menjaga alersahabat dengan manusia.
5.
Diksi
Puisi
adalah salah satu karya sastra yang mengandalkan keindahan kata-kata untuk
memunculkan kesan estetisnya. Dalam memainkan kata-kata, yang menjadi
ujung tombaknya adalah diksi atau pemilihan kata oleh penyairnya. Diksi
digunakan oleh penyair untuk mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan
setepat-tepatnya seperti yang dialami batinnya. Penyair harus benar-benar
tepat memilih kata jika ingin mengekspresikan dengan ekspresi yang dapat
menjelmakan pengalaman jiwanya tersebut.
Taufik
Ismail dalam puisinya Membaca Tanda-tanda banyak menyindir manusia
sebagai khalifah di bumi yang masih saja merusak alam dengan perburuan hewan,
penebangan hutan, dan lain sebagainya yang menyebabkan alam kehilangan
keindahannya. Taufik mengunakan diksi ‘kehilangan’ pada bait keempat
untuk menggambarkan hilangnya keindahan alam. Taufik pun banyak
menggunakan kata-kata yang berhubungan dengan alam seperti udara, danau,
burung, hutan, gunung dan lain sebagainya untuk menyesuaikan puisinya dengan
tema alam. Selain itu ia memilih kata-kata seperti longsor, banjir, gempa
dan sebagainya untuk menggambarkan bencana. Diksi yang dipilih Taufik Ismail dalam
puisi ini pada umumnya memakai kata-kata yang lumrah digunakan dan mudah
dipahami maknanya. Kesemuanya membuat puisi ini menjadi menarik sehingga
pesannya juga lebih cepat diterima oleh pembaca.
6. Citraan (imagery)
Citraan
dalam karya sastra berperan untuk menimbulkan pembayangan imajinatif bagi
pembaca. Pada dasarnya citraan kata terefleksi melalui bahasa kias. Citraan
kata meliputi penggunaan bahasa untuk menggambarkan objek-objek, tindakan,
pikiran, perasaan, ide, dan setiap pengalaman indera istimewa. Dalam puisi,
untuk memberi gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana yang khusus, untuk
membuat (lebih) hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan dan juga untuk
menarik perhatian, penyair juga menggunakan gambaran-gambaran angan (pikiran),
di samping alat kepuitisan yang lain. Gambaran-gambaran angan dalam sajak itu
disebut citraan (imagery). Imaji terbagi menjadi imaji penglihatan (visual
imagery), imaji pendengaran (audiotory imagery), imaji raba dan
sebagainya. Imaji atau citraan yang terdapat dalam puisi Membaca
Tanda-tanda antara lain :
a.
Citra penglihatan (visual imagery)
Imaji
penglihatan adalah citraan yang timbul oleh penglihatan. Imaji
penglihatan dalam puisi ini terdapat dalam kutipan :
§ Kita saksikan udara abu-abu warnanya
Kita
saksikan air danau yang semakin surut jadinya (bait ke-3)
§ Kita saksikan zat asam didesak
karbon dioksid itu menggilas paru-paru (bait ke-5)
§ Kita sasksikan
Gunung
membawa abu
…………………..
(bait ke-6)
§ Kita telah saksikan seribu
tanda-tanda
Bisakah
kita membaca tanda-tanda
(bait ke-7)
b.
Citra pendengaran (auditory imagery)
Imaji
pendengaran adalah citraan yang timbul oleh pendengaran. Imaji pendengaran
dalam puisi ini terdapat dalam kutipan :
§ Burung-burung kecil tak lagi
berkicau pagi hari
(bait ke-3, baris ke-3)
c.
Citra perabaan (tactile imagery)
Imaji raba
adalah citraan yang timbul oleh perabaan. Imaji perabaan dalam puisi ini
terdapat dalam kutipan :
§ Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas
dari tangan
dan
meluncur lewat sela-sela jari kita (bait ke-1)
§ Karena ada sesuatu yang rasanya
mulai lepas dari tangan
akan
meluncur lewat sela-sela jari (bait ke-10)
.
7.
Kata-kata konkret
Kata-kata
konkret tersebut sangat jelas menunjukan sikap tindakan baik dari penyair
maupun dari pembaca. Kata-kata konkret tersebut bertujuan untuk menggambarkan
unsur-unsur puisi secara tepat agar pembaca dapat merasakan keadaan yang
dirasakan penyair.
8.
Gaya Bahasa
Dalam
karya sastra seperti puisi, untuk menimbulkan efek estetik atau efek
kepuitisannya maka digunakanlah gaya bahasa. Selain itu tujuan penyair
menggunakan gaya bahasa dalam puisinya antara lain untuk menghasilkan
kesenangan yang bersifat imajinatif, menghasilkan makna tambahan, agar dapat
menambah konkrit sikap dan perasaan penyair dan agar makna yang diungkapkan
lebih padat. Puisi Membaca Tanda-tanda tidak memakai banyak ragam
bahasa kiasan atau majas. Bahasa kiasan yang digunakan hanya seperti berikut.
a. Hiperbola
Hiperbola
adalah gaya bahasa yang melebih-lebihkan sesuatu. Hiperbola dalam puisi ini
terdapat dalam kutipan:
Banjir air mata (bait ke-6, baris
ke-8)
b. Perbandingan
Perbandingan
atau perumpamaan, ialah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain
dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak,
seperti, semisal, seumpama, laksana, sepantun, penaka, se, dan kata-kata
pembanding lain. Dalam puisi Membaca Tanda-Tanda karya Taufik Ismail ini,
memiliki perbandingan atau perumpamaan dalam sajaknya, yaitu sebagai berikut.
Ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
tapi kini kita mulai merasakannya…..(baris ke-2)
Dalam sepenggal puisi tersebut
menggambarkan/mengibaratkan kegelisahan hati pengarang akan terjadinya sesuatu
bencana yang sangat besar, dimana manusia menyadari bencana itu hadir karena
perbuatan kita sendiri dengan merusak alam. Yang dimana dari awalnya tak pernah
kita rasakan, tapi lama kelamaan efeknya mulai kita rasakan.
c. Metafora
Metafora
ini bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak menggunakan kata-kata
pembanding, seperti bagai, laksana, seperti, dan biasanya. Metafora itu melihat
sesuatu dengan perantaraan benda yang lain. Metafora ini menyatakan sesuatu
sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak
sama. Pada sajak pertama puisi
tersebut:
Ada
sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
dan
meluncur lewat sela-sela jari kita….
Maksudnya:
Bencana itu hadir bukan tanpa sebab,
bencana datang karena ulah tangan manusia, dan “meluncur lewat sela-sela
jari kita” ini maksudnya bencana itu dating tidak lepas dari perbuatan kita
sendiri, kemudian akhirnya melanda didekat kita.
d. Allegori
Allegori
ialah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan atau lukisan kiasan
ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Alegori ini banyak terdapat dalam
sajak-sajak Pujangga Baru, namun pada waktu sekarang banyak juga dalam sajak
Indonesia Modern.
Dalam sajak puisi tersebut:
….Kita
saksikan air danau yang semakin surut jadinya
Burung-burung
kecil tak lagi berkicau pagi hari….
Maksudnya:
Dalam puisi tersebut menyajikan
dampak datangnya suatu bencana, sehingga berdampak pada alam sekitarnya.
9. Rima
Rima
adalah bunyi yang berselang atau berulang, baik di dalam larik puisi maupun
pada akhir larik-larik puisi. Rima disebut juga persajakan. Rima
digunakan untuk mengolah bunyi pada puisi. Oleh karena itu penyair memilih
diksi-diksi yang mempunyai persamaan bunyi. Pola rima pada puisi ini tidak
teratur. Misalnya saja pada bait pertama dan kedua bersajak (a-b), bait
ketiga (a-a-b), bait keempat (a-b-b-b) dan seterusnya. Pada puisi Membaca
Tanda-tanda, hanya terdapat rima luar, yaitu rima yang terdapat antar baris
yang terletak di awal, tengah dan akhir.
10. Ritme
Ritme adalah totalitas tinggi rendahnya suara, panjang pendek, dan cepat
lambatnya suara saat membaca puisi. Ritme yang ditumbulkan melalui puisi tersebut
adalah ritme lambat.
D. Unsur Ekstrinsik
1. Latar Belakang Penulis
Taufiq Ismail lahir di Bukit Tinggi,
25 Juni 1935. Masa kanak-kanak sebelum sekolah dilalui di Pekalongan. Ia
pertama masuk sekolah rakyat di Solo. Selanjutnya, ia berpindah ke Semarang,
Salatiga, dan menamatkan sekolah rakyat di Yogya. Ia masuk SMP di Bukit Tinggi,
SMA di Bogor, dan kembali ke Pekalongan. Ia melanjutkan pendidikan di Fakultas
Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia (sekarang IPB), dan
tamat pada tahun1963.
2. Tempat Penulisan
Puisi Membaca
Tanda-tanda karya Taufik Ismail ini ditulis di Bukit Tinggi.
3. Waktu Penulisan
Puisi karya Taufik Ismail tersebut ditulis pada
tahun 1982.
0 Response to "Puisi"
Posting Komentar